TVBERITANEWS.COM, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan ada 'anggota' baru yang masuk ke dalam sepuluh ancaman kesehatan masyarakat global, yaitu resistansi antimikroba.
Jika tak diatasi, ancaman tersebut bisa membahayakan jutaan nyawa di seluruh dunia.
Bahkan, dr. Dante Saksono Harbuwono, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes RI), menyebut ini adalah 'pandemi senyap'.
Apa itu resistansi antimikroba yang menjadi ancaman serius kesehatan dunia?
Menurut WHO, resistansi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) adalah kondisi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit mengalami perubahan sehingga memiliki daya tahan atau kekebalan yang tinggi terhadap obat-obatan antimikroba dan/atau antibiotik. WHO menyebutkan bahwa ini adalah ancaman serius bagi dunia.
"Kami (WHO) sudah menetapkan bahwa resistansi antimikroba adalah salah satu dalam sepuluh besar masalah kesehatan global yang sangat serius," ungkap Mukta Sharma, Technical Officer (AMR) WHO Indonesia, dalam pertemuan diskusi bersama antara media, WHO, dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Hotel Westin Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut, Mukta menegaskan bahwa penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan pada manusia, hewan, dan tumbuhan mampu mempercepat perkembangan serta penyebaran AMR di seluruh dunia. Salah satu studi global memperkirakan, lebih dari 4,9 juta orang meninggal di 204 negara pada tahun 2019 akibat infeksi bakteri yang resistan terhadap antibiotik.
Selain itu, WHO juga menyebutkan, seseorang yang mengidap AMR akan menghadapi penyakit dalam jangka waktu yang panjang sehingga harus melakukan pengobatan lebih lama.
Hingga saat ini, belum ada data yang mencatat jumlah kasus AMR di Indonesia.
"Kami masih belum dapat memberikan data terkait jumlah kasus AMR di Indonesia karena pendataan masih dilakukan. Namun, secepatnya data tersebut akan dirilis," ungkap Mukta melalui keterangannya, dikutip Senin (17/10/2022).
Kemenkes menyebutkan bahwa ada sejumlah penyebab terjadinya resistansi antimikroba, yaitu tidak adanya indikasi dalam penggunaan antimikroba dan/atau antibiotik, indikasi tidak sesuai, pemilihan antimikroba dan/atau antibiotik yang tidak tepat, dan dosis yang tidak sesuai.
"Kebutuhan laboratorium belum tersebar merata di Indonesia sehingga banyak antibiotik diberikan tanpa tahu persis penyebab penyakitnya. Meski data terbatas, terlihat jelas terdapat peningkatan masalah AMR di Indonesia," jelas dr. Anis Karuniawati, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI, Rabu (12/10/2022).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar