TVBERITA NEWS. COM, Purwakarta- Dalam dunia hukum, memahami sebuah pasal tanpa membedah unsur-unsur pidananya memang bisa diibaratkan seperti melihat kulit tanpa mengetahui isinya.
Dalam hukum pidana, unsur pidana terdapat 2 (dua) aliran Monistis (Monisme) dan Dualistis (Dualisme) merujuk pada dua aliran pemikiran utama mengenai cara mendefinisikan dan memisahkan antara perbuatan pidana (objektif) dan pertanggungjawaban/kesalahan (subjektif).
Perbedaan ini sangat mendasar karena menentukan bagaimana seorang hakim atau jaksa merumuskan surat dakwaan dan membuktikan suatu tindak pidana di pengadilan.
1. Ajaran Monistis (Monisme)
Aliran ini memandang tindak pidana sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam pandangan ini, unsur perbuatan (yang dilarang undang-undang) dan unsur kesalahan (sikap batin pelaku) tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Definisi: Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana, dilakukan dengan kesalahan, dan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Logika: Jika seseorang melakukan perbuatan tanpa kesalahan (misalnya karena gila), maka menurut aliran ini, orang tersebut tidak melakukan tindak pidana.
Tokoh & Pengaruh: Tokoh penganutnya antara lain Simons, Van Hattum, dan Utrecht. KUHP lama (WvS) UU NO.1 tahun 1946 yang kita gunakan selama ini cenderung memiliki nuansa monistis dalam perumusan deliknya (sering mencantumkan kata "dengan sengaja" langsung di dalam pasal).
2. Ajaran Dualistis (Dualisme)
Aliran ini memisahkan secara tajam antara perbuatan dan orangnya. Ajaran ini membedakan antara Tindak Pidana (Criminal Act/Actus Reus) dengan Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability/Mens Rea).
Definisi: Tindak pidana hanyalah perbuatannya saja (yang bersifat melawan hukum). Soal apakah pelaku bisa dihukum atau tidak (karena gila, dipaksa, dsb), itu adalah urusan pertanggungjawaban pidana yang berdiri sendiri.
Logika: Seseorang bisa saja dinyatakan telah melakukan tindak pidana (karena perbuatannya terbukti), namun ia tidak dijatuhi pidana karena tidak memiliki kesalahan atau tidak mampu bertanggung jawab.
Tokoh & Pengaruh: Tokoh utamanya di Indonesia adalah Prof. Moeljatno. Pandangan inilah yang kemudian diadopsi dalam KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023).
Berikut adalah penjelasan mengapa pemahaman unsur menjadi sangat krusial agar pemahaman hukum kita menjadi utuh:
1. Anatomi Pasal: Teks vs. Unsur
Sebuah pasal dalam UU (seperti KUHP) biasanya berbentuk kalimat naratif.
Namun, untuk menentukan apakah seseorang bisa dipidana, penegak hukum harus memecah kalimat tersebut menjadi unit-unit terkecil yang disebut Unsur Pidana.
Secara umum, unsur pidana dibagi menjadi dua kategori besar:
a.Unsur Objektif: Perbuatan yang terlihat secara fisik (contoh: mengambil barang, menghilangkan nyawa).
b.Unsur Subjektif: Keadaan batin pelaku (contoh: dengan sengaja, karena kelalaian, atau adanya niat jahat/ mens rea).
2. Mengapa Memahami Unsur Itu Wajib?
Tanpa membedah unsur, kita rentan terjebak dalam generalisasi.
Berikut alasannya:
*1.Pembuktian yang Presisi:*
Dalam hukum pidana, berlaku asas nullum delictum (legalitas). Seseorang hanya bisa dihukum jika seluruh unsur dalam pasal terpenuhi tanpa terkecuali. Jika ada satu saja unsur yang tidak terbukti, maka terdakwa harus bebas (vrijspraak).
*2.Membedakan Tindak Pidana yang Mirip:* Tanpa melihat unsur, kita sulit membedakan antara "Pencurian" (Pasal 476) dengan "Penggelapan" (Pasal 486).
Perbedaannya terletak pada satu unsur spesifik: bagaimana barang tersebut berada dalam kekuasaan pelaku.
3.Menghindari Kesalahan Logika: Seringkali masyarakat menganggap suatu perbuatan adalah pidana hanya karena hasilnya buruk, padahal jika dibedah unsurnya (misalnya unsur "melawan hukum"), perbuatan tersebut mungkin saja merupakan tindakan yang sah secara perdata.
3. Contoh Sederhana:
Pasal Pencurian
Jika kita hanya membaca "setiap orang mengambil barang orang lain...", itu baru permukaan. Pemahaman utuh mensyaratkan bedah unsur:
* Setiap orang: Subjek hukum (manusia atau korporasi).
* Mengambil: Ada perbuatan memindahkan posisi barang.
* Suatu barang: Objeknya harus berwujud dan punya nilai.
* Sebagian atau seluruhnya milik orang lain: Bukan milik pelaku sendiri.
* Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum: Ini adalah unsur subjektif (niat jahat).
Jika seseorang mengambil barang orang lain karena salah sangka itu miliknya, maka unsur melawan hukum tidak terpenuhi, dan ia tidak bisa dipidana meskipun ia benar-benar "mengambil".
Kesimpulan:
*Memahami pasal hanyalah langkah awal (literasi), namun memahami unsur adalah analisis hukum.*
Tanpa bedah unsur pidana, hukum hanya menjadi kumpulan teks yang kaku dan rentan disalahgunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar